Rabu, 30 Desember 2009

Gus Dur, Pejuang Kemanusiaan

Oleh M. Ridlo ‘Eisy
Sesungguhnya Abdurrahman Wahid tidak terlalu senang dipanggil Gus Dur. Beliau mengatakan hal itu sekitar tahun 1987, setelah saya mewawancarai beliau. “Bukankah wajar, jika anak kiai dipanggil Gus, sebagai panggilan kesayangan dan penghormatan,” tanya saya kepada Gus Dur. “Ya, para kiai sepuh memang menghormati saya sebagai anak kiai,” kata Gus Dur, “tetapi mereka kan masih meragukan kekiaian saya. Mereka memanggil saya Gus, karena mereka belum menganggap saya kiai.”
Memang, pada waktu itu gelar yang disandingkan dengan nama Abdurrahman Wahid, hanyalah H, haji. Setelah wawancara itu, saya memberanikan diri mencantumkan gelar K (kiai) di depan H, sehingga tercantumlah nama lengkap, KH Abdurrahman. Siapa sih yang meragukan kealiman beliau. Namun, ketika Gus Dur berhasil menjadi Presiden Republik Indonesia, banyak anak-anak kiai yang senang dipanggil Gus. Panggilan Gus adalah pertanda, bahwa orang itu merupakan ‘keturunan darah biru’ di kalangan pesantren.
Gus Dur memang mengagumkan, pandangan-pandangannya mulai menyebar pada tahun 1970-an. Tahun 1978 pernah menjadi pembicara dalam seminar di Balai Pertemuan Ilmiah ITB, dan malamnya menjadi imam salat terawih di Masjid Salman ITB. Ceramah Gus Dur menegaskan, bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Saya masih ingat, ada seorang ulama yang marah terhadap pertanyaan tentang banyaknya sikap apologetic para tokoh agama di dunia, namun Gus Dur dengan sabar menjelaskan bahwa sikap apologetik masih bisa diterima, sambil mengungkapkan pandangan pemikir Katolik, Thomas Aquinas.
Gus Dur pada dasarnya adalah tokoh yang sangat dekat kepada wartawan, selalu terbuka untuk diwawancara, dan diundang diskusi. Suatu ketika, saya menjadi moderator dalam diskusi terbatas tinjauan politik akhir tahun dekade 1980-an, di ruang rapat Pikiran Rakyat, Jl Soekarno Hatta Bandung, yang dihadiri oleh Prof. Dr. Sri Sumantri, Dr. Alfian (almarhum), Rahman Tolleng, Gus Dur. Pada saat pembicara lain mengungkapkan pandangannya, Gus Dur tampak tertidur. Saya berbisik kepada Rahman Tolleng, “Bang, Gus Dur kelihatannya kecapaian, bagaimana ini.” Rahman Tolleng menjawab, “Tenang saja, lihat saja nanti, gagasan Gus Dur pasti nyambung.” Benar juga, Gus Dur mengomentari pandangan-pandangan pembicara sebelumnya.
**
Kini Gus Dur telah wafat. Predikat apa yang paling tepat diberikan kepada beliau? Predikat yang tepat bagi Gus Dur adalah Pejuang Kemanusiaan, walaupun banyak predikat lain yang layak dianugerahkan kepadanya. Sebagian besar pemikirannya diabdikan untuk kemuliaan kemanusiaan. Sebagian besar hidupnya merupakan rangkaian ikhtiar untuk melawan diskriminasi terhadap kemanusiaan. Tentu saja Gus Dur adalah orang yang sangat berani. Dalam ceramah di Aula Pikiran Rakyat, Jl. Asia Afrika 77, tahun 1984, Gus Dur menegaskan, bahwa beliau akan memperjuangkan kebenaran dan kemanusiaan yang diyakininya, walaupun seorang diri.
Keberanian itu ditunjukkan sewaktu menjadi Ketua Umum PB NU. Gus Dur dikritik, seringkali pandangan dan pemikirannya tidak mempertimbangkan umatnya. Dengan santai Gus Dur menjawab bahwa beliau bukanlah orang pemasaran, tetapi seorang imam, “Kan tidak pantas, kalau imam salat harus bertanya dulu kepada makmumnya ketika mau sujud.”
Keberanian Gus Dur makin tampak sewaktu beliau menjadi Presiden. Semua peraturan negara yang menerapkan diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa dicabut. Gus Dur juga menjembatani kerukunan beragama di Indonesia. Seringkali saya terheran-heran, betapa tinggi penghormatan umat Katolik kepada Gus Dur, kadang-kadang seimbang dengan penghormatan warga NU khususnya di Jawa Timur kepada beliau. Dr. Rizal Ramli, salah seorang Menteri pada saat Gus Dur jadi Presiden, pernah melihat warga NU yang mencium ban mobil yang ditumpangi Gus Dur. Ketika ditanya, mengapa mereka mencium mobil Gus Dur, salah seorang menjelaskan, sesungguhnya mereka ingin bersalaman dengan Gus Dur dan mencium tangannya, karena tidak sempat, ya terpaksa mencium mobilnya saja. Padahal Gus Dur sudah tidak jadi Presiden lagi.
Satu hal yang tidak mungkin saya lupakan dari Gus Dur adalah dalam melakukan akrobat politik. Kelihaian dalam akrobat politik inilah yang membuat beliau terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, padahal partai pendukungnya tidak cukup besar. Akrobat lain adalah pada tahun 1985, saat Muktamar NU di Situbondo. Waktu itu, pemerintah mewajibkan seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan berasaskan Pancasila. NU yang asalnya berasaskan Islam, harus diganti dengan asas Pancasila. Apa yang dilakukan Gus Dur dan teman-teman NU memang cukup lihai, pertama adalah melakukan islamisasi terhadap Pancasila. Sila pertama Pancasila adalah lambing dari tauhid, keesaan Tuhan, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian, setelah asas Islam dalam Anggaran Dasar NU, dicantumkan satu ayat lagi, yang menegaskan bahwa aqidah NU adalah Islam. Dengan penjelasan ini, maka Pancasila dengan mudah diterima dalam Muktamar NU. Pemerintah Orde Baru puas, warga NU menerimanya. Pola NU ini diikuti oleh organisasi-organisasi Islam lainnya. Setelah Orde Baru berakhir, organisasi politik dan kemasyarakatan tidak wajib mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas, dan ternyata partai politik yang didirikannya bersifat inklusif, merangkul semua orang, walaupun akarnya tetaplah warga NU.
Kini, Gus Dur telah wafat. Moga-moga semangat kerukunan antar beragama dan intern beragama tetap terjaga. Moga-moga diskriminasi manusia tidak ada lagi di Indonesia.***
M. Ridlo ‘Eisy, adalah wartawan senior.

Tidak ada komentar: