Jumat, 10 April 2009

Masa Depan Media Cetak di Indonesia

Oleh M. Ridlo ‘Eisy

Optimisme bahwa media cetak di Indonesia masih terus bertahan dalam beberapa decade ke depan mewarnai rapat antar penerbit di kantor Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, awal Maret 2009, yang membahas dampak krisis ekonomi global terhadap media di Indonesia. Semangat ini selaras dengan sikap CEO Kompas, Agung Adiprasetio, dalam Seminar New Media yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Indonesia di Bali, November 2008.
Para penerbit yang tergabung dalam SPS menyadari bahwa bisnis media cetak semakin berat. Pada saat rapat berlangsung, berita ditutupnya Christian Science Monitor sudah disiarkan oleh beberapa media di Indonesia. Senja kala koran-koran Amerika Serikat (AS) diamati dengan cermat oleh seluruh penerbit Indonesia. Mulai dari bangkrutnya Chicago Tribune, Los Angeles Time, sampai dengan ditutupnya The Rocky Mountain News, Seattle Post Intelegencier, Philladephia Inquiry, Baltimore Examiner, Kentucky Post, King Country Journal, Cincinnati Post, Union City Register Tribune, Halifax Daily News, Albuquerque Tribune, South Idaho Star, San Juan Star, dan masih banyak koran-koran besar di AS yang sedang menanti keputusan untuk ditutup. Sebagian dari koran-koran itu pindah ke media online. Jika kita buka internet, dan memasukkan kalimat “The end of Newspaper” atau “Newspaper Death Watch” dalam search engine internet, maka ratusan judul segera muncul. Semuanya mengisahkan sekaratul maut koran-koran di AS.
Nasib serupa sesungguhnya sudah terjadi di Eropa Barat. Dalam pertemuan dengan para wartawan Jerman di Bonn, tahun 2003, kami memperoleh informasi bahwa sekitar 13.000 wartawan Jerman di PHK, dan beberapa media lokal melakukan merger untuk bertahan hidup. Gelombang PHK juga menerpa Asia, The China Times melepas separo staffnya pada bulan Juni 2008.
Alasan utama dari runtuhnya media cetak di negara-negara Barat adalah karena berkembangnya media baru internet. Makin banyak orang di negara-negara Barat mengunjungi media online untuk mendapatkan informasi, apalagi pada musim dingin yang penuh salju. Untuk apa harus keluar rumah untuk memungut koran pagi demi membaca berita koran, jika berita yang sama bisa dibaca melalui komputer di dalam rumah yang hangat. Oleh karena orang malas mengambil koran, maka iklan dalam koran tidak efektif lagi. Sebagai gantinya mereka memasang iklan di internet, yang harganya jauh lebih murah, bahkan ada iklan yang gratis di internet. Secara bersamaan pendapatan iklan dan sirkulasi koran-koran di negara Barat merosot, dan itulah yang menyebabkan banyak koran-koran di AS dan negara Barat lainnya bangkrut, tutup, atau pindah ke online. Runtuhnya koran-koran tersebut dipercepat dengan krisis ekonomi yang menghantam AS. Kerugian yang diderita di beberapa koran di AS sudah tidak tertanggungkan lagi. Memang Ben S. Bernanke, Bank Federal AS menyatakan krisis ekonomi akan berakhir di akhir tahun 2009, tetapi koran-koran yang tutup itu tampaknya tidak akan kembali lagi.
Pada tanggal 23Februari 2008, Kedutaan Besar AS mengirim email, yang berjudul “Drastic Decrease Predicted in Number of Major U.S. Newspapers – Younger readers get their news from the Internet”. Isi email itu meramalkan bahwa 20 tahun yang akan datang semua koran di AS pindah ke online kecuali empat koran besar, yaitu The New York Time, The Washington Post, USA Today, dan Wall Street Journal.
Paul Gillin, konsultan teknologi informasi dari Massachusetts menyatakan bahwa surat kabar terus menyampaikan berita-berita yang bernilai. “Namun model bisnis suratkabar tidak mungkin bertahan hidup lagi, perkembangan ekonomi sedang bergerak melawan bisnis koran,” kata Gillin. Yang dimaksud Gillin adalah bahwa banyak koran di AS mengalami kerugian yang sangat besar, karena terlalu banyak wartawan dan karyawan lainnya. Keadaan ini diperparah, kata Gillin, generasi muda sekarang ini membaca berita dari internet.

Internet di Indonesia
Apakah internet akan mengancam surat kabar di Indonesia? Direktur Marketing First Media, Dicky Moechtar, menyatakan pengguna internet di Indonesia meningkat 1.000% dalam 10 tahun terakhir ini. (Kompas, 31 Maret 2009). Sekarang ini pengguna internet mencapai 25 juta orang, namun Internet Marketers memperkirakan akhir tahun 2009 akan mencapai 33 juta orang, dan tahun 2010 akan mencapai 50 juta orang.
Dalam release yang dikeluarkan Yahoo! & TNS tanggal 20 Maret 2009, bahwa 83% dari pengguna internet di Indonesia mengakses dari warung internet, dan hanya 16% yang mengakses dari rumah. Menurut Yahoo! & TNS, segmen penduduk usia 15-19 tahun di daerah perkotaan yang mengakses internet berjumlah 64%.
Dari informasi awal ini, dapat disimpulkan bahwa media internet adalah ancaman nyata bagi eksistensi surat kabar di Indonesia, walaupun bukan pada tahun ini. Ada praktisi yang sangat optimis, surat kabar di Indonesia akan tetap bertahan hidup selama-lamanya, jika produk surat kabar ditampilkan dengan menggunakan jurnalisme sastrawi. Ada yang memperkirakan masih bisa bertahan sampai tahun 2050. Ada yang mengatakan masa hidup surat kabar di Indonesia tinggal 20 tahun lagi. Bahkan ada yang mengatakan ancaman media online akan datang lebih cepat lagi, jika tarif internet dan harga komputer turun secara berarti.
Jika dilihat dari pengguna internet yang mengakses berita yang masih sangat sedikit, memang surat kabar di Indonesia masih boleh berlega hati, setahun dua tahun ini, namun setelah itu suasananya akan berubah, dengan makin berkembangnya teknologi informasi dan turunnya tarif internet. Ada faktor lain yang membuat praktisi surat kabar boleh bersantai setahun dua tahun ini antara lain, pengguna internet mengakses di warung internet yang tarifnya Rp3.000,-/jam, dan mayoritas pengaksesnya adalah remaja yang diperkirakan mengakses internet karena tugas sekolah/kuliah. Di tengah ancaman dari internet, justru hampir semua media cetak di seluruh Indonesia, mensuplai berita ke media internet secara gratis. Keadaan yang paradoksal ini harus dilakukan media cetak atas nama konvergensi media dalam rangka mempertahankan hidupnya, dan mungkin juga sebagai persiapan untuk pindah media jika keadaan memaksa seperti di AS.

Perang harga
Jika internet merupakan masa depan bagi koran, ancaman media cetak saat ini adalah perang harga pada bidang sirkulasi dan iklan. Perang harga eceran surat kabar harian berlangsung sangat kerasnya, dengan hadirnya koran dengan harga Rp 1.000,-. Hampir semua koran harian besar melakukan jual rugi, namun Pasal 20 Undang-Undang no 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tampaknya belum pernah diberlakukan untuk industri surat kabar. Dampak jual rugi yang dilakukan oleh industri surat kabar yang sudah mapan dianggap sebagai penghalang masuknya pemain baru dalam industri koran. Sudah banyak pemain baru mencoba, dan ribuan koran sudah bertumbangan, dan terlempar keluar dari arena bisnis koran.
Perang harga yang lebih dahsyat terjadi pada iklan. Bukan hanya surat kabar harian yang banting harga, tetapi juga majalah, radio, dan televisi. Apalagi untuk industri televisi yang harga iklannya dibayar setelah mencapai rating tertentu. Sedangkan ada koran yang memuat iklan tanpa dibayar, sebagai bagian promosi pembentukan pasar. Dengan adanya perang harga dalam iklan ini maka data penelitian yang dilakukan oleh AC Nielsen hanya bisa dipakai untuk mengukur volume iklan, tetapi tidak bisa digunakan untuk mengukur tentang belanja iklan.
Sampai saat ini belum ada cara untuk meredakan perang harga ini. Beberapa kali Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat menyelenggarakan diskusi untuk membahas masalah harga eceran koran, namun para praktisi medeia cetak sepakat untuk tidak sepakat, dan menyerahkan keputusannya kepada pasar. Andaikata diskusi itu berhasil memutuskan patokan harga langganan seperti pada saat Orde Baru, maka diskusi itu bisa dituduh melakukan praktek kartel, yang juga dilarang oleh UU no 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Perang harga ini pasti akan meminta korban media cetak dan juga media elektronik lebih banyak lagi, saat ini maupun nanti.

Permintaan kertas menurun
Dengan tutupnya koran-koran di negara Barat, muncul pertanyaan baru, siapa yang akan membeli kertas? Mungkin koran-koran Jepang masih hebat, tetapi masyarakatnya sudah mulai berubah ke online, lewat desktop, laptop, notebook, atau blackberry. Dalam waktu yang tidak terlalu lama permintaan kertas pun akan turun di Jepang. Kini tinggal dua raksasa dunia yang masih membutuhkan kertas dalam jumlah besar, yaitu India dan China. India sekarang sudah menjadi pemasok teknologi informasi dunia, dan China juga bergerak menyaingi perkembangan teknologi informasi di negara-negara Barat. Gerakan ini pada ujungnya akan mengurangi kebutuhan akan kertas.
Lalu siapa yang membeli kertas di dunia? Dalam 5 tahun ke depan, Indonesia akan salah satu negara yang masih membeli kertas dan itupun tidak terlalu banyak juga. Dengan demikian permintaan kertas di dunia, pelan tetapi pasti, terus menurun. Jika suplai kertas masih sama seperti saat ini, maka sesuai dengan hukum ekonomi suplai and demand, harga kertas ini akan terus turun. Kecuali pabrik-pabrik kertas dunia mengurangi produksi. Kalau pabrik kertas mengurangi produksi, maka bahan baku untuk kertas tidak ada yang menyerap, dan dampaknya harga baku itu akan turun harganya juga. Apalagi ditambah dengan turunnya harga minyak dunia, maka mau tidak mau harga kertas akan terus turun dalam satu atau dua tahun ini.
Jika benar harga kertas di Indonesia terus turun, maka kerugian di bidang sirkulasi dalam industri koran akan berkurang. Jika harga kertas turun terus, maka pada waktunya koran-koran kecil akan mampu memperoleh sedikit margin dalam sirkulasi, dan hal ini akan membuat peluang bagi industri koran untuk mempertahankan hidupnya, sambil menata model bisnisnya, yang bisa mengantarkan media cetak hidup lebih lama lagi.

Majalah mungkin lebih tenang
Berbeda dengan persaingan antar koran, persaingan dalam bisnis majalah dan tabloid agak lebih longgar, karena hampir setiap majalah di Indonesia dijual di atas harga pokok penjualan. Jadi penjualan majalah masih memperoleh margin tiap eksemplarnya. Semakin banyak majalah yang laku di pasar, semakin baik, karena semakin banyak keuntungan yang diperoleh dari sisi sirkulasi.
Di sisi produksi, majalah juga punya kelonggaran untuk menyajikan produk yang lebih menarik, baik dalam cetakan maupun penggunaan bahasa yang lebih indah. Dengan produk yang berkualitas tinggi dilihat dari sisi cetakan maupun jurnalisme, maka majalah mempunyai peluang hidup lebih panjang daripada koran. Bahkan majalah tidak perlu khawatir dengan invasi media online.
Satu-satunya arena peperangan antar majalah adalah perang harga dalam iklan. Namun ini sudah diantisipasi oleh para pengelola media dengan cara differensiasi produk yang menyasar segmen pasar yang sangat khusus. Dengan menciptakan produk yang unik dan segmen pasar khusus, maka pendapatan iklan dari tiap majalah tidak akan terganggu.
Kedigdayaan bisnis majalah ini dibuktikan dengan kenaikan harga eceran majalah di Indonesia, yang disertai dengan kenaikan harga iklan. Bisnis majalah tidak gentar menghadapi krisis ekonomi yang melanda dunia.***

Muhammad Ridlo ‘Eisy adalah Ketua Harian Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, Direktur PT Galamedia Bandung Perkasa yang menerbitkan Harian Umum Galamedia di Bandung.