Minggu, 29 Maret 2009

Tuntutan Independensi Media

Oleh M. Ridlo ‘Eisy

JELAS, media bukanlah hakim, yang memutuskan pihak ini benar, pihak itu salah dan oleh karena itu harus dijatuhi hukuman. Media juga bukan wasit, yang dituntut tegas mengambil putusan sebagaimana wasit menghukum pemain sepak bola yang salah, dengan memberinya kartu kuning atau bahkan kartu merah.
Jadi kalau ada media yang mengungkapkan berita kontroversial secara berimbang dan menyerahkan penilaian benar atau salah, baik atau buruk, kepada masyarakat, hal itu bukan karena media bersikap ragu-ragu, tetapi karena media itu bersikap profesional, dengan menaati UU no 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Sesungguhnya sikap media yang seperti wasit atau main hakim sendiri bisa dianggap melanggar Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang no 40/1999 tentang Pers.
Pasal 5 ayat (1) UU Pers berbunyi:
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Sedangkan Pasal 18 ayat (2) UU Pers berbunyi:
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Untuk lembaga penyiaran, UU no 32/2002 tentang Penyiaran menegaskan bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. (Pasal 36 ayat (4)). Media penyiaran yang tidak netral dan hanya mengutamakan kepentingan golongan tertentu dapat dicabut izin penyelenggaraan penyiarannya (Pasal 55 ayat (2)).

Independensi Media
Masyarakat memang menuntut media massa bersikap independen. Dengan sikap independen, media berusaha melaporkan berita secara berimbang. Dengan informasi yang berimbang, masyarakat terbantu untuk mengambil keputusan yang benar dalam menanggapi situasi, baik itu berupa reaksi terhadap keadaan maupun antisipasi terhadap hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan.
Media yang tidak netral, tidak independen, tidak akan menyajikan berita secara berimbang. Media yang tidak independen dan bersikap partisan berusaha menggiring khalayaknya untuk bersikap seperti pengelola dan/atau pemilik media itu. Media yang tidak independen berusaha membujuk masyarakat untuk mengikuti kebenaran yang diyakini oleh pengelola dan/atau pemilik media itu, padahal kebenaran yang diyakini media itu belum tentu benar, dan sebagian masyarakat mungkin mempunyai keyakinan tentang kebenaran yang lain
Tuntutan masyarakat agar media bersikap independen sudah terwujud dalam UU Pers dan UU Penyiaran. Khusus untuk Pemilu 2009, tuntutan masyarakat agar media massa bersikap independen mewujud dalam Pasal 91 ayat (2) UU no 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, yang berbunyi:
Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh peserta pemilu.
Di samping peraturan perundangan, Pasal 3 KEJ juga menegaskan bahwa “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”
KEJ itu menjelaskan bahwa yang dimaksud berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional, sedangkan yang dimaksud dengan opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Adapun penafsiran asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Tuntutan idealisme wartawan
Selain masyarakat umum, tuntutan agar media massa bersikap independen datang dari idealisme wartawan yang berada di lapangan, dan aktif dalam persatuan atau asosiasi wartawan.
Wartawan di lapangan akan melawan pihak luar yang berusaha mengintervensi kemerdekaan pers. Wartawan lapangan akan merasa gagah berani untuk melawan Presiden, Panglima TNI, Kapolri, Mahkamah Agung, Ketua DPR, bos-bos perusahaan besar, seandainya mereka berusaha mengintervensi kemerdekaan pers, dengan cara melarang suatu peristiwa untuk dilaporkan kepada masyarakat.
Namun, wartawan lapangan akan mengalami kesulitan, apabila yang melarang suatu berita disiarkan itu justru datang dari dalam, misalnya dari pemimpin redaksi, atau dari pemilik media, dengan berbagai alasan. Alasan yang biasanya dikatakan adalah beritanya tidak layak siar/muat. Jika dilihat dari berbagai kriteria, berita itu layak siar/muat, maka muncul alasan berikutnya yaitu ada berita yang lebih penting yang perlu didahulukan. Besoknya, berita itu tidak bisa disiarkan, karena dianggap berita basi.
Padahal mungkin saja berita itu tidak boleh disiarkan karena alasan lain, misalnya tokoh/pejabat atau lembaga yang akan dikritik itu mempunyai kaitan pribadi dengan pemimpin redaksi dan/atau pemilik media itu. Berita itu tidak disiarkan karena mengkritik partai politiknya atau perusahaannya pemilik media. Dengan demikian kepentingan masyarakat untuk memperoleh informasi dikorbankan demi kepentingan kroni pemimpin redaksi dan/atau pemilik media itu.
Di samping untuk menampung perkembangan media, khususnya media elektronik, semangat idealisme wartawan inilah yang mendorong penyempurnaan Kode Etik Wartawan Indonesia menjadi Kode Etik Jurnalistik yang disahkan oleh Dewan Pers di Jakarta, 24 Maret 2006. Penyempurnaan yang menonjol adalah peringatan bagi para pemilik perusahaan pers untuk tidak mengintervensi pemberitaan dan mendorong media bersikap independen, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 KEJ dan penafsirannya berbunyi:
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan.
Perlu juga dicatat, bahwa bersikap independen bukan hanya tuntutan idealisme, tetapi juga tuntutan bisnis. Sesungguhnya bersikap tidak independen adalah tindakan yang merugikan secara bisnis. Jika media itu mendukung salah satu partai politik, maka media itu akan dijauhi oleh semua partai politik yang lain dan seluruh pendukungnya. Jika media itu mendukung salah satu calon presiden, maka calon presiden yang lain akan menjauhinya. Jika itu terjadi, maka media yang partisan itu berada di ambang kegagalan bisnis.

Petunjuk teknis peliputan yang independen
Seruan agar media massa bersikap independen sudah disampaikan para pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana dalam Lokakarya Media Massa yang bertajuk “Agenda Setting Pers Indonesia dalam Pemilu 2004” di Pacet – Cianjur, 25 April 2003. Bahkan dalam lokakarya yang diselenggarakan Lembaga Pers Dr Soetomo itu Andreas Harsono menguraikan beberapa petunjuk teknis untuk menegakkan sikap independen. Andreas menguraikan tentang “5 Konsep Verifikasi Kovach & Rosentiel”, “Accuracy Checklist David Yarnold dari San Jose Mercury News”, dan “15 Standar Pantau”.
Jika petunjuk teknis itu dilaksanakan, kemungkinan besar masyarakat akan menerima informasi yang berimbang, bermutu, dapat dijadikan referensi, yang digunakan untuk menentukan pilihannya dan menentukan tindakannya dalam menjawab perkembanagan situasi dan kondisi.
Salah satu sikap yang perlu menjadi pegangan wartawan adalah standar “Pantau” nomor satu, yaitu “Mengejar kebenaran sekuat daya dan bertanggungjawab, tanpa rasa takut terhadap kepentingan khusus apa pun, tanpa mengistimewakan siapa pun.”

Surabaya, 30 Maret 2009

Lampiran:

5 Konsep Verifikasi Kovach & Rosenstiel


1. Jangan menambah atau mengarang apa pun;
2. Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
3. Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
4. Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
5. Bersikaplah rendah hati.


Accuracy Checklist David Yarnold dari San Jose Mercury News

1. Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
2. Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
3. Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
4. Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
5. Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
6. Apa ada yang kurang?
7. Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya?
8. Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?

15 Standar Pantau

1. Mengejar kebenaran sekuat daya dan bertanggungjawab, tanpa rasa takut terhadap kepentingan khusus apa pun, tanpa mengistimewakan siapa pun.
2. Mengerjakan setiap tugas dengan sikap adil di atas pikiran yang terbuka tanpa prasangka.
3. Mencari pandangan yang bertentangan untuk kebenaran.
4. Memeriksa secara rutin motivasi siapa pun yang sedang berusaha mendesakkan pandangannya.
5. Mendengarkan mereka yang tak bersuara.
6. Menghindari tindakan yang congkak.
7. Menghadapi publik secara sopan dan terus terang.
8. Mengaku salah dan meminta maaf bila memang bersalah.
9. Menghindari konflik kepentingan atau yang menjurus pada konflik kepentingan.
10. Berusaha tetap berada di tengah-tengah khalayak, untuk menjaga jarak dari panggung, untuk melaporkan sejarah dan bukan untuk membuat sejarah.
11. Menempatkan akurasi sebagai tujuan dan kejujuran sebagai pertahanan.
12. Menyebutkan asal sumber seluruh informasi, kekecualian memenuhi Tujuh Kriteria Sumber Anonim.
13. Menempatkan plagiarisme sebagai dosa yang tidak bisa dimaafkan.
14. Memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat.
15. Menghargai cita rasa dan kesantunan, dengan memahami bahwa konsep masyarakat tentang cita rasa dan nilai kesantunan selalu berubah-ubah.

Tidak ada komentar: