In Memoriam Mochtar Lubis (Pikiran Rakyat)
In Memoriam Mochtar Lubis, Wartawan dan Sastrawan Besar
Selalu Berusaha Menegakkan Kebenaran
Oleh Muhammad Ridlo 'Eisy
Di mana ada ujung jalan perjoangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih jalan perjoangan, maka itu jalan tidak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjoangan. (Mochtar Lubis, "Jalan Tak Ada Ujung", Pustaka Jaya, 1971, halaman 46).
JUMAT, 2 Juli 2004, pukul 19.15 wib, Mochtar Lubis wafat. Perjalanan lelaki yang selama hidupnya memilih jalan perjuangan mencari kebahagiaan manusia dan berusaha membentuk keadaan masyarakat agar lebih mudah mencari kebahagiaan itu, telah berakhir. Ia kini menuju ke arah kebahagiaan abadi, menghadap Ilahi Rabbi.
Namun, seperti yang ditulisnya sendiri dalam buku "Jalan Tak Ada Ujung", perjuangan menuju kebahagiaan manusia memang tiada ujungnya. Sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, setiap manusia berjuang untuk mencari kebahagiaan bagi dirinya, bagi keluarganya, dan bagi lingkungan yang lebih luas.
Mochtar Lubis memilih lapangan kewartawanan dan kesusastraan sebagai alat perjuangannya. Karya sastra dan karya jurnalistiknya kini menjadi warisan bagi umat manusia, khususnya warga Indonesia. Salah satu karya jurnalistiknya yang monumental adalah waktu harian "Indonesia Raya" membongkar korupsi di Pertamina di akhir tahun 1960-an. Korupsi dalam tubuh Pertamina bukan saja hampir menenggelamkan Pertamina sendiri, tetapi juga perekonomian bangsa. Pertamina diselamatkan pemerintah pada pertengahan dekade 1970-an. Jika saja pemerintahan Orde Baru mendengarkan kritik yang dilontarkan Mochtar Lubis dan jajaran harian "Indonesia Raya", kemungkinan kerugian yang sedemikian besar bisa dicegah lebih awal.
Tak terhitung warisan jurnalistik yang ditinggalkan Mochtar Lubis bagi kewartawanan. Yang patut dicatat di sini adalah cara Mochtar Lubis dalam melahirkan karya-karyanya. Ia sangat menjunjung tinggi etika jurnalistik. Ia tidak memperkenankan wartawannya menyamar dalam investigative reporting. Ia tidak akan memuat berita yang tidak didukung oleh fakta. Ia juga meletakkan dasar-dasar independensi wartawan, seperti yang ditulisnya dalam tajuk rencana nomor pertama "Indonesia Raya" tanggal 29 Desember 1949:
"Dalam badan penerbitan ini tergabung wartawan-wartawan Indonesia yang berpendirian merdeka, wartawan-wartawan yang tidak diikat oleh pendirian partai atau sesuatu golongan. Yang dikejar oleh mereka hanya tujuan-tujuan jurnalistik semata-mata, yaitu mempertahankan kemerdekaan pers nasional yang kuat dan bebas dan mempertinggi mutunya jurnalistik Indonesia sejalan dengan kemajuan di lain lapangan yang kini diperjuangkan dengan hebat oleh segenap bangsa Indonesia. ... Bagi kami terutama sekali kebenaran dan obyektivitas akan terus menjadi obor dan pegangan dalam usaha. Kami akan menghindarkan diri dari politik pemberitaan yang berat sebelah, yang menguntungkan satu golongan dan merugikan golongan lain."
Sikap Mochtar Lubis itu merupakan sebuah "kemewahan" pada masa Orde Baru, tapi pada masa reformasi ini hampir semua media cetak mengambil sikap seperti yang diambil oleh Mochtar Lubis. Bahkan negara melalui UU No. 32/2002 tentang Penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran bersikap independen.
Untuk menegakkan kebenaran itulah Mochtar Lubis dipenjara oleh Orde Lama maupun Orde Baru. Ia masuk tahanan pada tanggal 22 Desember 1956 dan menghirup kemerdekaan setelah Orde Lama tumbang pada tahun 1966. Buku harian selama dipenjara diterbitkan dalam buku "Catatan Subversif" (Sinar Harapan, 1980). Dalam pengantar buku itu Mochtar Lubis menulis:
"Pelajaran yang dapat ditarik, menurut hematku, dari pengalaman buruk yang diderita bangsa Indonesia di bawah telapak kaki rezim Soekarno, adalah bagaimana jangan memimpin bangsa dan negara dengan kebohongan, kepalsuan, kerakusan pada kekuasaan, pelanggaran hukum dan undang-undang, mimpi-mimpi palsu yang didorong ambisi kebesaran pribadi. Pelajaran ini baik direnungkan para pemegang kekuasaan. Pelajaran lain adalah untuk rakyat dan bangsa kita sendiri, agar jangan mau tertipu dan terpesona dengan kata-kata indah, janji-janji muluk, tetapi agar senantiasa waspada mencocokkan kata dengan perbuatan pemimpin dan penguasa."
Malu kepada para pejuang
Kutipan-kutipan di atas adalah sedikit cuplikan dari begitu banyak warisan tokoh wartawan yang sangat mengagumkan itu. Pada waktu Orde Baru pun Mochtar Lubis harus masuk tahanan beberapa bulan setelah Peristiwa 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan istilah "Malari", dan harian "Indonesia Raya" kembali dilarang terbit.
Sewaktu ia berceramah di ITB tahun 1979, saya bertanya kepadanya mengapa ia tidak berkompromi dengan pemerintah untuk menandatangani surat pernyataan yang dibuat Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), apakah ia tidak memikirkan nasib karyawannya, agen-agen korannya dengan seluruh lopernya.
Dengan tenang Mochtar Lubis menjawab bahwa ia sangat memikirkan nasib seluruh karyawannya. Ia turut mencarikan pekerjaan para karyawannya setelah "Indonesia Raya" diberedel. Tentang nasib agen-agen dan seluruh lopernya, ia berkeyakinan akan tetap baik, karena masih ada koran-koran yang terbit. "Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan yang disodorkan pemerintah," kata Mochtar Lubis, "karena malu kepada teman-teman saya pejuang kemerdekaan."
Ia menguraikan, teman-temannya berjuang memerdekakan Indonesia dengan mengorbankan jiwa dan raganya. Banyak di antara temannya yang gugur dalam perjuangan itu. "Teman-teman saya rela mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Apakah saya tidak mau mengorbankan koran saya untuk memperjuangkan kemerdekaan yang serupa, yaitu kemerdekaan pers?," katanya.
Individu dan negara
Memang Mochtar Lubis adalah pejuang kemerdekaan. Pernah ia akan mengangkat senjata dan bergabung dalam perjuangan fisik pada masa kemerdekaan. Namun, atas saran Adam Malik (almarhum) ia kembali berjuang dengan menggunakan media. Adam Malik berkata, sudah banyak orang yang berjuang dengan senjata, tapi masih sedikit yang berjuang dengan pena.
Gagasan Mochtar tentang negara yang dicita-citakannya disampaikan secara tidak langsung dalam novel "Jalan Tak Ada Ujung". Ia menulis:
"Bagiku individu itu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanyalah alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia."
Pandangan Mochtar Lubis ini jelas bertentangan dengan pandangan totaliter yang menempatkan negara di atas segala-galanya. Manusia hanya alat. Demi kejayaan negara kalau perlu warga negara dikorbankan. Faham totaliterianisme ini menyusup ke berbagai ideologi dan aliran-aliran dalam agama. Komunisme, fasisme, Nazi, Orde Lama, maupun Orde Baru menganut jalan hidup totaliterianisme. Salah satu ciri totaliterianisme adalah adanya penguasa yang memonopoli kebenaran dan hanya dialah yang berhak mengatasnamakan negara.
Alhamdulillah cita-cita Mochtar Lubis tentang negara ini sebagian telah mewujud dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dengan dimasukkannya perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Jangan sampai perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia ini tergusur lagi, walaupun oleh Komisi Konstitusi.
Sastrawan besar
Perkenalan saya kepada Mochtar Lubis semakin dekat setelah saya menjadi wartawan Pikiran Rakyat tahun 1982. Dan menjadi semakin akrab lagi setelah saya mengikuti Konferensi Sastrawan Asia Tenggara 1985 di Bali dan 1987 di Singapura. Saya mengamati, begitu hormatnya para sastrawan se-Asia Tenggara kepada beliau. Mochtar Lubis bukan hanya seorang wartawan yang teguh memegang prinsip, tetapi juga sastrawan besar yang karyanya sangat indah dan penuh pesan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila karya-karya Mochtar Lubis mendapat penghargaan baik di tingkat nasional maupun internasional. Begitu halus pesannya disisipkan ke dalam setiap kisah, sehingga tidak terasa bagi yang membacanya.
Dalam novelnya yang berjudul "Harimau, Harimau", Mochtar Lubis menyisipkan nasihat: "Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain."
Mochtar Lubis telah mempraktikkan perlawanan terhadap kezaliman melalui karya sastra dan karya jurnalistik. Seringkali saya mendapat nasihat beliau untuk tetap tabah sebagai wartawan, karena beban wartawan sekarang ini semakin berat. Nasihat itu disampaikan di berbagai kesempatan di sela-sela makan siang di rumahnya. Masakan Ibu Mochtar, Ibu Hally sangat lezat, khususnya sambal bikinannya. Kecintaannya kepada istrinya sangat luar biasa. Pada tahun 1998, saat saya berkunjung ke rumah beliau untuk mengajak memperjuangkan kemerdekaan pers, dengan menyusun Undang-Undang Pers yang baru, beliau sangat senang, tetapi beliau tidak mungkin aktif secara fisik. Beliau mengatakan bahwa ibu sedang sakit, dan ia harus merawatnya sendiri. "Bertahun-tahun ibu merawat saya, khususnya waktu saya di penjara. Sekarang giliran saya untuk membahagiakan ibu," katanya.
Pernah Pak Atmakusumah, mantan Ketua Dewan Pers, menuturkan bahwa Pak Mochtar bertanya tentang istrinya waktu ia dirawat di rumah sakit. "Tentu saja saya katakan baik-baik saja di rumah," kata Pak Atma, "Padahal Ibu Hally berada di rumah sakit juga, di sebelah kamar Pak Mochtar."
Kini Mochtar Lubis telah pergi selama-lamanya. Namun karya-karyanya dan pesan-pesannya masih hidup bersama kita sampai sekarang. Alangkah relevan penutup ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, tanggal 30 Januari 1978:
"Pada akhirnya saya memberanikan diri berbicara untuk yatim piatu bangsa kita, jumlah 50 persen yang masih berada di bawah garis kemiskinan, yang masih menderita kekurangan kalori dan protein, dengan segala akibatnya yang buruk bagi perkembangan mereka sejak bayi hingga menjadi dewasa, dan pula untuk hari depan dan generasi-generasi yang akan datang di tanah air kita, nasib mereka ditentukan oleh apa yang kita lakukan atau tidak kita lakukan hari ini. Untuk merekalah saya berdiri di sini hari ini, menyampaikan hati nurani saya sebagai seorang anak Indonesia, didorong oleh cinta dan kasih saya kepada rakyat dan tanah air Indonesia."***
- Muhammad Ridlo 'Eisy adalah anggota Dewan Redaksi Harian Pikiran Rakyat.
Rabu, 22 Juli 2009
Langganan:
Postingan (Atom)